Minggu, 22 April 2012

Emansipasi ala Kartini ?

Saat ini lapangan pekerjaan terbuka luas bagi kaum hawa dan persaingan kian ketat untuk meraihnya. Banyak perusahaan yang lebih memilih pelamar wanita untuk pekerjaan yang mestinya cocok dilakukan oleh kaum pria. Ada semacam kecenderungan pihak perusahaan untuk mengambil manfaat banyak dari karyawan wanita. Mungkin bagi pemilik perusahaan, karyawan wanita umumnya dianggap tidak banyak menentang kebijakan pimpinan meskipun merugikan karyawan. Jika tak ingin pekerjaan itu dialihkan ke orang lain alias di pecat.
 foto : sumber  http://3.bp.blogspot.com/_1jSbTcjzh0I/TOMWKgXNI_I/AAAAAAAAAps/76hIkOzDKkA/s1600/rokok-buruh.jpg
Ada dua tipe wanita pekerja. Yang pertama adalah mereka yang bekerja bukan sebagai penopang utama ekonomi keluarga. Tapi bekerja sebagai sarana untuk mengaplikasikan ilmu yang dimiliki, berbuat sesuatu yang lebih bermanfaat bagi orang lain dan eksistensi diri. Untuk tipe ini, ada dua katagori pula dalam penyikapan mereka terhadap kesewenangan. Katagori pertama, mereka yang mengambil posisi aman. Wanita-wanita yang bekerja sekedar untuk memperoleh tambahan penghasilan. Jadi bukan sebagai penopang utama ekonomi keluarga. Untuk yang katagori ini, biasanya tidak akan banyak tuntutan, lebih mudah berkompromi dalam pekerjaan. Manut oleh kebijakan perusahaan. Tidak banyak protes jika dibayar lebih murah meskipun kemampuannya sama bahkan mungkin lebih dari laki-laki. Dan yang kedua adalah mereka yang memiliki keberanian menentang kebijakan yang merugikan meskipun taruhannya disingkirkan.

Persoalannya berapa banyak wanita-wanita beruntung yang memiliki back up finansial dari keluarga atau pun suami. Memiliki pendidikan memadai dan kompetensi, dilengkapi pula dengan idealisme yang tinggi. Tidak terlalu mempermasalahkan besarnya gaji. Apalagi jika bekerja sekaligus kesenangan baginya. Tidak banyak wanita pekerja yang memiliki karakter ini.

Tipe yang ke dua adalah wanita-wanita penopang dan penggerak utama ekonomi keluarga. Biasanya ulet, disiplin dan loyal. Dipaksa oleh keadaan, maka ia lebih luwes berkompromi dengan jenis pekerjaan yang tidak disukai sekalipun, demi dapur yang harus tetap ngebul atau bayaran yang lebih tinggi. 

Besarnya populasi wanita dibarengi dengan terbukanya peluang bagi wanita untuk bekerja, tenaga wanita lebih banyak diserap di berbagai lapangan pekerjaan sementara laki-laki banyak yang jadi pengangguran. Jika wanita ini sudah berkeluarga sementara suaminya sulit mendapatkan pekerjaan, dampak yang mungkin timbul sebenarnya tak sesederhana yang kelihatan . Laki-laki pemalas, membiarkan wanita bekerja banting tulang menghidupi keluarga kadang mengatakan hal ini sudah menjadi tuntutan jaman. Lalu ujung-ujungnya dikaitkan dengan emansipasi. Pemahaman seperti ini terus bergulir pelan-pelan seiring dengan kemajuan jaman, yang sebenarnya adalah bentuk lain dari pembodohan.Tuntutan hidup dan perkembangan teknologi mengikis pola hidup seimbang yang telah di atur alam dalam berbagi peran antara laki-laki dan perempuan. Tapi sekarang nyaris tanpa batas jelas lagi, mana yang pas dilakukan oleh perempuan dan mana yang tidak tergantikan. Semuanya menjadi layak dan sah2 saja. Lagi-lagi dengan dalih emansipasi.

Laki-laki jadi lupa akan tanggung jawabnya yang utama sementara wanita pun kebablasan dan merasa bisa berbuat semaunya. Laki-laki di rumah mengurus anak, segala ‘tetek bengek’ urusan dapur dan rumah tangga. Para wanita nyaris lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah bergulat dalam tuntutan prestasi kerja. Diibalik laki-laki sukses selalu ada perempuan hebat. Tapi dibalik perempuan sukses, ada laki-laki yang jadi stress ! Emansipasi yang dipahami tanpa keseimbangan hingga kebablasan, akan mudah menghantam ego laki2. Apalagi jika pada dasarnya sudah bermental kerupuk.

Kemajuan wanita bukan berarti mengesampingkan kodratnya. Perjuangan Kartini bukan berarti memberikan peran wanita menyamai bahkan melampaui laki-laki. Wanita dan laki-laki memiliki kodratnya masing-masing. Benar bahwa saat ini wanita memiliki kesempatan luas untuk berekspresi, memiliki banyak peluang berprestasi.

 

Sopir wanita di Trans Jakarta. Padahal banyak laki-laki yang menginginkan pekerjaan ini karena harus menghidupi keluarga. Dari pada istri yang mesti banting tulang atau berangkat kerja di subuh buta? Persaingan yang makin keras bagi laki-laki untuk memperoleh pekerjaan, menambah deretan panjang pengangguran. Penyerapan tenaga kerja wanita di segala bidang, apakah ini berarti makin banyaknya anak -anak yang kurang perhatian ? Hhhmmm....nampaknya ini perlu kajian lebih lebih dalam.
.
Bagaimana kita sebagai wanita tetap memiliki eksistensi meskipun hanya sebagai ibu rumah tangga biasa, bisa mengembangkan diri dengan segala fasilitas yang ada di jaman ini, yang memiliki pengaruh terhadap kesuksesan keluarga, memberikan suasana yang kondusif bagi prestasi anak maupun suami. Inilah barangkal yang mestinya jadi bahan renungan kita. SALAH KAPRAH jika wanita yang melakukan pekerjaan yang lebih mengandalkan fisik seperti tukang becak, tukang batu atau kuli bangunan, hingga supir busway sekalipun, yang seharusnya dilakukan oleh laki-laki, lalu serta merta dikatakan melanjutkan perjuangan Kartini. Apakah ini yang di inginkan Kartini dan wanita-wanita saat ini? Coba liat sekarang, dengan dalih emansipasi betapa banyak akhirnya wanita yang ‘terjerembab pada situasi yang justru mamberi peluang bagi eksploitasi kaumnya sendiri.

Emansipasi mestinya diarahkan pada pola berpikir maju, bukan mengambil peran yang seharusnya dilakukan kaum laki-laki. Laki-laki tetap memiliki tanggung jawab utama, dan wanita juga memiliki peran yang tak kalah penting dalam membangun keluarga dan masyarakat. Bersama-sama dengan laki-laki, menurut peran dan kodratnya.


Jakarta, 21 April 2012
Salam hangat & Semangat :)

Etty Lismiati